Ketika anak keseringan nonton TV

Assalamualaikum Wr Wb.

Beberapa minggu lalu saya sudah menayangkan artikel yang berasal dari folder lama komputer saya. Kali ini, saya juga akan tayangkan artikel lama yang tadinya mau ditayangkan di website salah satu produk susu. Artikel yang saya buat tahun 2011 ini kayaknya masih relevan dengan kondisi sekarang. Yang berbeda, hanya anak yang diceritakan di artikel ini, sekarang sudah kelas 6 SD. Hoby nya sekarang bukan hanya nonton TV, tapi sangat hobi membaca dan…

maen game -_-.

selamat membaca.

 

-HS-

kid-tv
ilustrasi

Kadang-kadang, ketika orang tua sedang sibuk dengan urusan rumah, anak akan ‘ditinggalkan’ sejenak. Supaya anak tidak ke mana-mana, hal yang paling mudah dilakukan oleh orang tua adalah menempatkan anak balitanya di depan televisi. Kemudian TV dipindahkan ke channel khusus untuk anak-anak, sehingga si kecil akan terfokus menonton TV sementara sang mama mengerjakan urusan lain sejenak.  Bener, nggak?

Saya sering melihat kejadian seperti ini ketika Fathan  berusia sekitar tiga hingga menjelang lima tahun. Fathan adalah keponakan saya, dan so far saya turut mengasuhnya sejak dia masih bayi merah.

Karena ibunya bekerja, otomatis Fathan ditinggalkan bersama asisten rumah. Sang asisten pun bukanlah baby sitter khusus, jadi selain mengasuh Fathan, dia juga mengerjakan pekerjaan lainnya. Nah, pada saat mengerjakan pekerjaan rumah inilah, kadang, Fathan ditempatkan di depan TV. Awalnya memang anak ini menjadi cerdas dalam bertutur. Dia menggunakan bahasa Indonesia untuk bertutur sehari-hari, padahal kami tidak mengajarkannya secara khusus  karena kami berharap Fathan bertutur dalam bahasa sunda. Namun, side effect dari seringnya ditempatkan di depan TV ini, Fathan menjadi keranjingan nonton TV.

Aneka kartun seperti spongebob dan sebagainya menjadi menu sehari-hari yang tidak boleh dilewatkan Fathan. Dia akan menangis manakala kami mematikan TV atau memindahkan ke channel lain. Tentu saja ini membuat kami khawatir karena Fathan terus-terusan menonton tayangan kartun yang diputar berulang-ulang. Belum lagi, kadang tayangan kartun tersebut ada yang tidak sesuai untuk dilihat anak seusianya. Itu tidak bagus untuk perkembangannya.

Hampir selama dua tahun kami mencari cara untuk menghentikan kebiasaan Fathan menonton TV, mulai dari mengalihkan Fathan ke aktivitas lain, menghilangkan saluran TV  yang memutar kartun spongebob, hingga membuat kesepakatan untuk membatasi jam nonton. Semuanya memang berhasil mengalihkan fokusnya, namun hanya sementara. Tidak lebih dari hitungan bulan. Ujung-ujungnya Fathan kembali menonton tayangan kartun, khususnya spongebob (kala itu di tv masih booming spongebob squarepants).

Selaku orang tua yang turut memantau perkembangan Fathan, saya mencari cara agar Fathan mulai membatasi kebiasaannya menonton TV. Awalnya saya membuat kesepakatan dengannya dalam menonton kartun. Terutama spongebob. Kami sepakat, jika tayangan spongebob sudah pernah dilihat, maka tidak boleh dilihat lagi. Cara ini berhasil, namun hanya sebentar saja. Fathan kembali merengek ketika kami membahas kesepakatan itu.

Saya memutar otak, dan kemudian berusaha mencari cara agar Fathan mengurangi nonton kartun. Dengan bantuan google.com, saya menemukan sebuah artikel yang membahas tentang tayangan kartun spongebob yang dapat merusak otak. Ini ide bagus menurut saya untuk dibacakan di depan Fathan. Sayapun berinisiatif membacakannya ketika saya, Fathan, dan orang tuanya, sedang berkumpul bersama. Saya membacakannya dengan nyaring agar terdengar oleh Fathan. Fathan yang kala itu belum bisa membaca, menyimak dengan baik. Saya menekankan pada kalimat “tayangan spongebob dapat merusak otak” berkali-kali. Selesai saya membaca artikel, orangtua Fathan memberikan pemahaman tentang apa yang baru saja Fathan dengar, dan mengaitkannya dengan beberapa tayangan TV yang sering dia tonton.

Setelah membacakan artikel tersebut, Fathan banyak bertanya. Saya pikir Fathan mulai mengerti. Sejak saat itu, Fathan tidak mau lagi menonton spongebob, dia bilang: “Itu kan merusak otak.”  Beberapa tayangan kartun yang saya sebut ‘bisa merusak otak’ juga tidak mau dia tonton lagi. Dengan memberikan pujian bahwa dia anak cerdas, rupanya Fathan tidak mau otaknya rusak dan menjadi bodoh.

Memang, kebiasaannya menonton TV-nya  tidak hilang begitu saja. Beberapa tayangan TV masih menjadi tontonan favoritnya. Saya dan orangtuanya pun tidak bisa melarangnya. Yang penting kini Fathan yang sudah duduk di kelas 1 SD, tahu bahwa ada beberapa tayangan TV yang memang tidak sesuai untuk ditonton anak seusianya.

Anak sekarang memanglah tidak sama dengan masa kanak-kanak kita di jaman baheula. Jika kita akan sangat ketakutan ketika dikasih tau orang tua tentang suatu hal, maka anak-anak yang segenerasi dengan Fathan, baru akan nurut ketika ada penjelasan logis yang mudah dipahami oleh otaknya. (HS)


Tinggalkan komentar