Menangkal Ajaran Radikal dengan Pendidikan Agama di Keluarga (1)

 

Assalamualaikum wr wb.

Apakabar temanKB sekalian. Sudah lama nih ga ada update di blog tentangkb. Biasa, mau beralasan dulu kenapa ga ada update. Jadi selama hampir dua minggu kemaren saya terkapar, kena penyakit sejuta umat. Tipes. Dan rupanya setelah terkapar dua minggu itu, saya harus pemulihan yang makan waktu hampir dua minggu. Selama pemulihan itu, saya tidak boleh capek. Termasuk gak boleh mikir  yang berat-berat hehehe. Jadilah saya tidak mau update blog dulu (Hahahaalasanh..).

Nah sewaktu pemulihan, saya tetap memantau perkembangan yang terjadi di negeri ini. Salah satu hot topic yang jadi pokok bahasan berkali-kali adalah isu terorisme. Isu ini menjadi sedap untuk dibahas setelah ada kejadian bom di Jalan Thamrin. Menurut informasi yang didapat, katanya ISIS berada di balik serangan yang meresahkan itu. Kemudian, setelah serangan tersebut, ada banyak orang-orang keminter yang melakukan analisa. Dan ngakaknya, itu analisa hanya didasarkan pada tayangan video yutub doang. Katanya ini pengalihan isu lah, ini rekayasa lah, dan sebagainya. Padahal purnawirawan TNI sekelas Pak Prayitno Ramelan saja berhati-hati menganalisa serangan bom thamrin ini. Hasil analisa pak Pray bisa dibaca di sini.

Selain isue bom thamrin, hot topic lainnya adalah tentang  Gerakan Fajar Nusantara alias Gafatar. Banyak orang hilang dan diklaim ternyata mengikuti anggota Gafatar. Gafatar menjadi semacam ‘aliran’ baru yang meresahkan di kalangan Masyarakat. Konon katanya orang yang berada di belakang Gafatar ini Ahmad Musadeq. Orang yang pernah mengaku-ngaku dirinya Nabi. Walaupun belum ada statement yang menyatakan apa dan siapa itu Gafatar, tapi jika dilihat dari sepak terjangnya, saya berani beropini bahwa Gafatar ini adalah produk lama dengan kemasan baru. Beberapa daerah sudah melarang organisasi ini. Bahkan, berita terbaru adalah diusirnya orang-orang eks anggota Gafatar yang sudah bermukim di Kalimantan oleh orang setempat yang tidak menyetujui adanya Gafatar.

Di sini saya tidak akan melakukan analisa atas dua kasus yang sangat menyita perhatian masyarakat tanah air ini. Saya hanya akan mengajak anda sekalian agar membentengi anak-anak dengan pendidikan yang baik. Termasuk memberikan pendidikan agama, mengingat pendidikan agama merupakan fondasi utama dalam kehidupan. Saya membagi dua bagian tulisan ini, mengingat artikel ini lumayan panjang. Nanti TemanKB malah bosan. Oya, tulisan ini  bukan untuk menggurui TemanKB sekalian. Hanya ingin berbagi pengalaman saja.

selamat ulang tahun ibu1
Ilustrasi: Pendidikan Agama untuk Anak berawal dari Keluarga (HS.2011)

Saya ingat sebuah pengalaman. Dulu, beberapa tahun yang lalu, saya pernah aktif dalam kegiatan pengajian. Pengajian umum sih. Bahasannya juga tidak ada yang membahas seputar jihad dan sejenisnya. Namun sayangnya, waktu semangat-semangatnya saya mencari ilmu, ada satu ustad yang mau memanfaatkan semangat saya untuk belajar. Secara perlahan, ustad (oknum ustad kali ya?) tersebut mengajak saya untuk mengikuti kajian di rumahnya. Berhubung sedang semangat-semangatnya menuntut ilmu (agama), sayapun mengiyakan ajakan sang oknum ustad tersebut. Jadilah saya rutin mengikuti kajian di rumahnya.

Kajian dilaksanakan setiap hari sabtu siang, dari jam 12 sampai dengan jam 2 siang. Materi yang dikaji berawal dari betapa pentingnya kita sebagai umat manusia untuk berjalan dalam kebenaran. Tidak ada yang aneh dengan materi kajian tersebut. Saya masih bersemangat untuk mengikuti kajian berikutnya. Sabtu pertemuan kedua, saya kembali mengikuti kajian. Di sini, materinya mulai agak nyeleneh. Jadi si ustad ini mengajarkan konsep hijrah. Yakni berhijrah dari tatanan hitam menuju tatanan putih. Menurut ustad tersebut, saat ini negara Indonesia berada dalam kondisi hitam. Jadi saya diajak untuk berhijrah menuju kondisi putih. Di sini saya mulai merasakan keganjilan, namun saya tetap mengikuti kajian hingga minggu berikutnya. Dalam kajian tersebut juga dibicarakan materi tentang syahadat. Jadi menurut si oknum ustad tersebut, saya belum memeluk agama islam. Apa pasal? Karena saya islam turunan dari orang tua. Begitu katanya. Jadi menurut dia, saya belum bersyahadat. Saya harus mengucapkan syahadat lagi.

“Pala loe peyang, nggak syahadat dari hongkong, lah itu kita sehari semalam syahadat berapa kali pada saat sholat?” begitu hati saya bersuara. Sayapun menyampaikan kegelisahan ini kepada si oknum ustad. Namun dia menyangkal dengan menjawab bahwa syahadat seperti itu tidak berlaku, karena menurutnya, islam saya ini islam turunan dari orang tua. Ngok. Saya mulai merasakan keganjilan yang luar biasa. Kepala saya mulai nyut-nyutan.

Berikutnya, kajian mulai membahas tentang konsep zakat. Jadi, setelah nanti saya berhijrah, saya harus membayar zakat supaya harta yang saya peroleh mendapatkan keberkahan. Begitu kata si oknum ustad tersebut. Hanya saja, zakat yang harus dibayarkan bukan 2,5% seperti yang diwajibkan dalam Islam. Saya mulai merasa heran. Gimanapun, saya pernah mendapatkan pengajaran dari orangtua tentang dasar-dasar agama islam. Termasuk zakat yang harus dikeluarkan. Jadi ketika mereka mengajak saya untuk berzakat tidak 2,5%, saya mulai merasa heran. Tapi saya belum berhenti. Saya lanjut pada kajian berikutnya.

Kajian berikutnya tidak dilaksanakan di rumah si oknum ustad. Melainkan berpindah ke salah satu rumah anggota kajian. Seorang kepala sekolah yang memiliki yayasan. Oya, dalam kajian tersebut saya tidak sendirian. Ada beberapa anggota tetap yang sudah lebih dulu ikut kajian tersebut, dua di antaranya adalah Guru, satu orang lainnya adalah pemilik yayasan/kepala sekolah, serta satu orang lainnya adalah pedagang. Yang anggota baru adalah saya dan pedagang tersebut. Oke, back to masalah kajian. Iya, kajian ke empat dilaksanakan di rumah si pemilik yayasan itu. Dalam kajian ini, mulai dibahas tentang jihad dan kesetiaan. Di sini saya kembali merasakan sakit kepala yang hebat. Saya merasakan banyak hal yang bertentangan dalam kajian tersebut. Salah satunya adalah perihal shalat.

Sebagai anak seorang guru ngaji di kampung, saya merasakan hal yang ganjil manakala si oknum ustad berkomentar begini:

“Ya, jihad jauh lebih berpahala ketimbang shalat. Jadi shalat boleh ditinggalkan, karena pahalanya tidak seberapa. Ini kita pengajian seperti ini sudah termasuk jihad.”

Komentar tersebut disampaikan ketika saya telah sholat Dhuhur dan melihat mereka tenang-tenang saja tidak melaksanakan sholat. Spontan sayapun mengajak ustad dan peserta kajian lainnya untuk melaksanakan sholat. Jujur, waktu itu kepala saya merasa pusing sekali dengan keganjilan-keganjilan yang saya temui. Saya yang pernah diajari untuk tidak tinggal shalat oleh orang tua, tiba-tiba mendapati sekelompok orang yang menyatakan bahwa shalat tidak lebih penting daripada jihad. Apalagi setelah selesai kajian tersebut, saya diajak diskusi empat mata dengan si oknum ustad tersebut di ruang gelap. Makinlah saya nyut-nyutan.

Bersambung ke bagian 2


Satu respons untuk “Menangkal Ajaran Radikal dengan Pendidikan Agama di Keluarga (1)

Tinggalkan komentar